Jumat, 16 September 2011

Kisah dari Borneo: Kali Ini bukan tentang Selia

(Tanggapan sehabis membaca Lelaki Lebah)

by Eni Shabrina WS, penulis novel Pelari Cilik


Aku bertemu dengannya di suatu siang, di awal Agustus. Tepat di bawah langit berwarna abu-abu muda. Dia duduk seorang diri di sebuah bangku panjang di ruang tunggu sebuah terminal. “Hafiz,” begitu dia menyebut namanya.

Berkali-kali aku menghela nafas panjang, mencoba mencari udara segar. Tapi kabut benar-benar menyerang semua orang dengan bertubi-tubi. Ow, rupanya sebagian lahan gambut di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah terbakar.

Aku mendengar orang-orang berbicara dengan bahasa yang menyadarkanku bahwa aku tidak di pulau jawa lagi, “Ding”, “Acil”, “nyawa”, “unda” dan bahasa Banjar lainnya.

Setelah beberapa saat menunggu kami naik bus yang telah merapat di terminal. “Banjarmasin – Palangkaraya,195 km, rute yang sudah menjemukan.” Hafiz bergumam. Padaku? Aku rasa tidak, karena dia duduk bersama gadis cantik berjilbab ungu.

Aku tak melepaskan kameraku sepanjang perjalanan itu. Bahkan saat bus singgah di Kabupaten Pulang Pisau hingga sampai ke terminal Bundaran Burung Tingang. Aku juga sempat makan di sebuah warung dan mencicipi ikan haruan dan sambal acan sebelum akhirnya mengikuti Hafiz menuju jalan Bukit Keminting, dekat Universitas Palangkaraya, tempat tinggalnya, di sebuah barak sederhana.

Hari-hari selanjutnya aku terus mengikuti kemanapun dia pergi. Bahkan ketika malam-malamnya sering dihabiskan di kantor.

Tapi suatu hari aku mendapati dia masih termangu di depan layar yang bersih.

“Hafira akan pergi…dia akan menikah…” ucapnya dengan wajah muram.

“Kau mencintainya?”

“Dia sepupuku, yang selama ini merawat ayahku yang stroke dan sakit-sakitan.”

Ah, aku tahu menjadi PNS di luar kota seperti dirinya, dengan gaji pas-pasan bukanlah hal yang mudah. Membawa ayahnya pindah ke Palangkaraya juga hal yang tidak mungkin. Masalah demi masalah terus menimpa Hafiz, seperti pande besi yang tak pernah lelah menempa besinya. Bahkan hingga akhirnya dia harus menjadi kuli bangunan.

“Carmen dan Mariana tidak suka kau jadi kuli,” ucapku menatap Hafiz yang berpeluh karena mengangkati bahan-bahan bangunan.

“Hidup adalah pilihan,” ucapnya tanpa menoleh.

“Jadi siapa yang kau pilih? Carmen atau Mariana?”

“Tidak keduanya.” dia terus memasukkan bata-bata ke dalam gerobak.

“Tapi mereka sangat mencintaimu.”

“Tapi bukan berarti aku harus mencintainya, kan?”

“Atau…jangan-jangan kau menyukai Selia? gadis yang dulu menabrakmu?” tanyaku antusias. Hafiz menggeleng, lalu mendorong gerobak yang penuh batu bata.

Selia, aku terkejut saat bertemu gadis itu, kupikir itu Selia yang pernah ku kejar sampai ke Muara tungkal. Tapi ternyata bukan, beda jauh malahan.

Bukan Carmen, bukan Mariana, bukan Selia. Siapa? Ya Tuhan, aku tersentak saat aku tahu diam-diam Hafiz menyimpan sebaris nama dalam harapnya. Sebaris nama yang kemudian membagi dua ruang hatinya. Ruang untuk ayah dan ruang untuk Latifah.

“Gadis dalam bus itu? bukankah waktu itu kalian hanya saling diam? kau konyol ya, bagaimana kalau dia sudah bersuami? Kau pun tidak tahu nomor hpnya, emailnya, fbnya, apalagi alamatnya. Belum tentu juga dia suka padamu.” Hafiz hanya tersenyum mendengarku. Cinta memang aneh.

“Duh, sorry Fiz, jatah perjalananku habis. Aku harus pulang. Terima kasih untuk semuanya.” ucapku saat mendengar alarm waktu.

Aku segera kembali ke Jawa membawa berbagai kenangan dan peristiwa demi peristiwa yang kutemui. Maaf aku tak bisa menceritakan semuanya. Tapi yang jelas tiket kuning bertulis LELAKI LEBAH itu telah menyeretku menembus ruang dan waktu, ke pulau Kalimantan, berkenalan dengan tokoh-tokohnya, serta mengakrabi setiap jengkal alam dan budayanya. Dan sepanjang perjalananku, kutemui kisah-kisah yang kental dengan warna lokal yang eksotis, menggelitik empati, kaya wacana dan penuh motivasi.



Rabu, 14 September 2011

TENTANG LELAKI LEBAH


Terbit: di Tuas Media
Judul: Lelaki Lebah
Tebal: IV + 308 halaman
Penulis.: Mahmud Jauhari Ali
ISBN.:978-602-99269-1-0

harga.: Rp 40.000,00

Silakan pesan ke inbox fb Mahmud Jauhari Ali Full atau melalui sms ke nomor 087815594940,
tulis nama/alamat/jumlah buku yang Anda pesan.



Endorsemen Lelaki Lebah:

Narasi pembuka novel ini menarik. Sangat menarik, menggambarkan masyarakat di kota Banjarmasin dengan manusia urban. Novel Lelaki Lebah bercerita dengan indah, tentang kehidupan masyarakat di daerah Kalimantan. Mahmud Jauhari Ali menggunakan kata-kata sederhana melukiskan imajinasinya begitu ringan dan mengalir. Penguasaan latar oleh penulis yang dilukiskan dalam novel Lelaki Lebah ini membuat nilai tambah karena novel ini membuat kita melihat bagaimana situasi masyarakat di Palangkaraya atau pun Banjarmasin. Pengarang menampilkan kosakata budaya seperti “kuyang, kalakai, pian, ulun, nyawa” menjadikan novel ini sarat dengan nuansa lokal yang perlu dibaca oleh masyarakat di luar wilayah Kalimantan. Bagaimana kehidupan yang sederhana itu dimaknai oleh Mahmud Jauhari Ali membuat novel ini menarik dan harus dibaca.

Dra. Dad Murniah, M.Hum/Nia Samsihono, Kepala Subbidang Pembinaan Kebahasaan dan Kesastraan Pusat Bahasa/Badan Perlindungan Bahasa


Membaca novel ini, kita seakan diajak berwisata di keindahan bumi Kalimantan. Kehidupan sehari-harinya sangat tergambar. Dan Hafiz, tokoh aku dalam novel ini, adalah tokoh yang dapat dijadikan ilham bagi pembaca, dan dia berada di alur cerita yang sangat inspiratif. Sebuah karya novel yang patut dibaca.

Putra Gara, penulis novel Samudra Pasai


Membaca novel Mahmud Jauhari Ali membuat saya seakan terseret dari pulau Jawa ke pulau Kalimantan. Berkenalan dengan tokoh-tokohnya, serta mengakrabi setiap jengkal alam dan budayanya. Lelaki Lebah, sebuah novel yang kental dengan warna lokal yang eksotis, menggelitik empati, kaya wacana dan penuh motivasi.

Shabrina WS, penulis novel Pelari Cilik

...Dalam novel “Lelaki Lebah” ini, dengan alur yang mengalir, sang “aku” yang menjadi “lensa kamera” sekaligus photografer”nya, menangkap dan sekaligus merekam peristiwa-peristiwa keseharian yang dialaminya sepanjang perjalanan. Baru kemudian, ketika sampai pada sub judul “Lelaki Lebah”, peristiwa-peristiwa keseharian itu sampai pada pemaknaannya, yakni sebagai konstruksi dari bangunan tafsir surat An-Nahl (lebah), yang terdapat dalam kitab suci Al-Quran. Yakni usaha sang “aku” untuk memberikan manfaat kepada orang-orang di sekitarnya, termasuk ayah, kekasih, tetangga dan keluarga. Melalui novel “Lelaki Lebah” nya ini, Mahmud Jauhari Ali telah menunjukkan potensinya untuk bisa berkembang dan menjadi salah seorang novelis masa depan Kalimantan, khususnya Banjarmasin dan Palangkaraya.

Aant S. Kawisar, novelis, cerpenis, esais, penyair, dan pelukis (pernah menjadi salah seorang redaktur majalah sastra Horison).


Menjadi PNS yang ditempatkan di luar daerahnya sendiri bukanlah sesuatu yang mudah untuk dijalani. Mahmud Jauhari Ali menuangkannya dengan gaya penceritaan yang memikat. Membaca novel ini secara utuh membawa kita pada nuansa etnik dayak yang khas berpadu dengan nilai-nilai Islami. Lelaki Lebah menyadarkan kita pada satu hal bahwa nuansa religi tak melulu ada di pesantren.

Nailiya Nikmah JKF, dosen sastra, pengurus FLP Wilayah Kalsel, penulis buku Rindu Rumpun Ilalang


____________________________________________________